Penegakan hukum di Indonesia masih buruk. Dalam 10 tahun
terakhir, demokrasi di Indonesia dan kontrol terhadap korupsi tidak mengalami
kemajuan berarti.
Demikian menurut Governance Indicator World Bank. Sedangkan hasil penelitian terbaru Lembaga Survei Indonesia (LSI) bahwa proporsi publik yang menilai kondisi penegakan hukum dan di Indonesia buruk atau sangat buruk meningkat.
"Ini kali pertama terjadi dalam pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono sejak ia menang Pemilu pada 2004. Data longitudinal LSI sejak awal 2005 hingga 2011 menunjukkan bahwa sikap positif publik selalu lebih besar dalam isu penanggulangan korupsi. Tapi tidak kali ini," kata Direktur Eksekutif LSI, Kuskridho Ambardi, di kantor LSI, Jakarta, Ahad (8/1).
Dalam survei yang dilakoni LSI terhadap 1.220 koresponden pria dan wanita, berusia 17 tahun atau lebih, ditemukan bahwa sekitar 42,4 persen koresponden menilai kondisi penegakan hukum nasional buruk atau sangat buruk. Hanya sekitar 32,6 persen yang mengatakan baik atau baik sekali.
"Terdapat margin minus 9,2 persen. Padahal dalam penelitian sebelumnya, marginnya selalu positif, artinya yang menilai baik lebih besar daripada yang menilai buruk," jelas Kuskhrido lagi.
Dalam survei LSI, persepsi atas kinerja pemerintah memberantas korupsi juga terus menurun. Pada Desember 2008, studi LSI sebelumnya menunjukkan 77 persen menilai baik kinerja pemerintah. Pada 2009, turun menjadi 59 persen, 2010 menjadi 52 persen dan pada 2011 hanya 44 persen yang menilai baik kinerja pemerintah.
Kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga dinilai merah. Catatan LSI, dari 2008-2010, kinerja KPK dinilai baik pada rentang 61-66 persen. Namun, dalam survei terakhir Desember 2011, hanya sebanyak 44 persen yang masih percaya kinerja KPK baik atau sangat baik.
Menurut Ketua Dewan Pengurus Transparency International Indonesia (TII), Todung Mulya Lubis, buruknya persepsi publik bukan hanya diakibatkan lambannya penanganan kasus-kasus besar oleh penegak hukum. Tapi juga karena munculnya kasus-kasus yang menyakiti rasa keadilan masyarakat kecil.
"Kasus AAL yang diputus bersalah di sidang karena mencuri sendal jepit, kasus GKI Yasmin di Bogor dan banyak lagi. Ini berpengaruh besar terhadap persepsi masyarakat,
Terkait korupsi, menurut Todung, KPK masih menjadi satu-satunya lembaga yang paling efektif dalam memberantas korupsi. Meskipun survei LSI terbaru, menunjukkan KPK kini berada di bawah institusi Polri sebagai lembaga terkorup di Indonesia jika ukurannya persepsi masyarakat.Dari pertanyaan mengenai seberapa bersih sejumlah lembaga negara di mata masyarakat, survei LSI menempatkan KPK di urutan keempat (38,5 persen menilai bersih atau sangat bersih), Polri ketiga (39,3 persen), Presiden kedua (51 persen) dan TNI berada di urutan pertama (57,2 persen). Sedangkan partai politik dinilai sebagai lembaga terkorup di bawah Dewan Perwakilan Rakyat (31,1 persen).
"Cukup mengejutkan juga KPK bisa berada di bawah Polri. Tapi jika melihat situasi belakangan bisa dipahami mengingat sejumlah peristiwa belakangan cukup mencederai citra KPK. Pelanggaran kode etik oleh pimpinan KPK misalnya atau banyaknya vonis bebas terhadap terdakwa korupsi di tipikor daerah," kata Todung lagi.
melihat dan merasakan bahwa penegakan hukum berada dalam posisi yang tidak menggembirakan. Masyarakat mempertanyakan kinerja aparat penegak hukum dalam pemberantasan korupsi, merebaknya mafia peradilan, pelanggaran hukum dalam penelitian APBN dan APBD di kalangan birokrasi.ketidakpuasan masyarakat dalam penegakan hukum semakin bertambah panjang apabila membuka kembali lembaran – lembaran lama seperti kasus Marsinah, kasus wartawan Udin, kasus Sengkon dan Karta, kasus Tanah Keret di Papua dan lain-lainnya. Pengadilan yang merupakan representasi utama wajah penegakan hukum dituntut untuk mampu melahirkan tidak hanya kepastian hukum, melainkan pula keadilan, kemanfaatan sosial dan pemberdayaan sosial melalui putusan – putusan hakimnya. Kegagalan lembaga peradilan dalam mewujudkan tujuan hukum diatas telah mendorong meningkatnya ketidakpercayaan
masyarakat terhadap pranata hukum dan lembaga-lembaga hukum. Mungkin benar apabila dikatakan bahwa perhatian masyarakat terhadap lembaga-lembaga hukum telah berada pada titik nadir. Hampir setiap saat kita dapat menemukan berita, informasi, laporan atau ulasan yang berhubungan dengan lembaga-lembaga hukum kita. Salah satu permasalahan yang perlu mendapat perhatian kita semua adalah merosotnya rasa hormat masyarakat terhadap wibawa hukum. Bagaimana juga masih banyak warga masyarakat yang tetap
menghormati putusan – putusan yang telah dibuat oleh pengadilan. Meskipun demikian sah-sah juga kiranya apabila masyarakat mempunyai penilaian tersendiri terhadap putusan tersebut. Adanya penilaian dari masyarakat ini menunjukkan bahwa hukum / pengadilan tidak dapat melepaskan diri dari struktur sosial
masyarakatnya. Hukum tidaklah steril dari perilaku – perilaku sosial lingkungannya. Oleh karena itu wajar kiranya apabila masyarakat mempunyai opini tersendiri setiap ada putusan pengadilan yang dipandang bertentangan dengan nilai – nilai keadilan hidup dan tumbuh di tengah – tengah masyarakat. Persoalannya tidak akan berhenti hanya sebatas munculnya opini publik, melainkan berdampak sangat luas yaitu merosotnya citra lembaga hukum di mata masyarakat. Kepercayaan masyarakat akan luntur dan mendorong munculnya situasi anomi. Masyarakat kebingungan nilai – nilai mana yang benar dan mana yang salah.
Demikian menurut Governance Indicator World Bank. Sedangkan hasil penelitian terbaru Lembaga Survei Indonesia (LSI) bahwa proporsi publik yang menilai kondisi penegakan hukum dan di Indonesia buruk atau sangat buruk meningkat.
"Ini kali pertama terjadi dalam pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono sejak ia menang Pemilu pada 2004. Data longitudinal LSI sejak awal 2005 hingga 2011 menunjukkan bahwa sikap positif publik selalu lebih besar dalam isu penanggulangan korupsi. Tapi tidak kali ini," kata Direktur Eksekutif LSI, Kuskridho Ambardi, di kantor LSI, Jakarta, Ahad (8/1).
Dalam survei yang dilakoni LSI terhadap 1.220 koresponden pria dan wanita, berusia 17 tahun atau lebih, ditemukan bahwa sekitar 42,4 persen koresponden menilai kondisi penegakan hukum nasional buruk atau sangat buruk. Hanya sekitar 32,6 persen yang mengatakan baik atau baik sekali.
"Terdapat margin minus 9,2 persen. Padahal dalam penelitian sebelumnya, marginnya selalu positif, artinya yang menilai baik lebih besar daripada yang menilai buruk," jelas Kuskhrido lagi.
Dalam survei LSI, persepsi atas kinerja pemerintah memberantas korupsi juga terus menurun. Pada Desember 2008, studi LSI sebelumnya menunjukkan 77 persen menilai baik kinerja pemerintah. Pada 2009, turun menjadi 59 persen, 2010 menjadi 52 persen dan pada 2011 hanya 44 persen yang menilai baik kinerja pemerintah.
Kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga dinilai merah. Catatan LSI, dari 2008-2010, kinerja KPK dinilai baik pada rentang 61-66 persen. Namun, dalam survei terakhir Desember 2011, hanya sebanyak 44 persen yang masih percaya kinerja KPK baik atau sangat baik.
Menurut Ketua Dewan Pengurus Transparency International Indonesia (TII), Todung Mulya Lubis, buruknya persepsi publik bukan hanya diakibatkan lambannya penanganan kasus-kasus besar oleh penegak hukum. Tapi juga karena munculnya kasus-kasus yang menyakiti rasa keadilan masyarakat kecil.
"Kasus AAL yang diputus bersalah di sidang karena mencuri sendal jepit, kasus GKI Yasmin di Bogor dan banyak lagi. Ini berpengaruh besar terhadap persepsi masyarakat,
Terkait korupsi, menurut Todung, KPK masih menjadi satu-satunya lembaga yang paling efektif dalam memberantas korupsi. Meskipun survei LSI terbaru, menunjukkan KPK kini berada di bawah institusi Polri sebagai lembaga terkorup di Indonesia jika ukurannya persepsi masyarakat.Dari pertanyaan mengenai seberapa bersih sejumlah lembaga negara di mata masyarakat, survei LSI menempatkan KPK di urutan keempat (38,5 persen menilai bersih atau sangat bersih), Polri ketiga (39,3 persen), Presiden kedua (51 persen) dan TNI berada di urutan pertama (57,2 persen). Sedangkan partai politik dinilai sebagai lembaga terkorup di bawah Dewan Perwakilan Rakyat (31,1 persen).
"Cukup mengejutkan juga KPK bisa berada di bawah Polri. Tapi jika melihat situasi belakangan bisa dipahami mengingat sejumlah peristiwa belakangan cukup mencederai citra KPK. Pelanggaran kode etik oleh pimpinan KPK misalnya atau banyaknya vonis bebas terhadap terdakwa korupsi di tipikor daerah," kata Todung lagi.
melihat dan merasakan bahwa penegakan hukum berada dalam posisi yang tidak menggembirakan. Masyarakat mempertanyakan kinerja aparat penegak hukum dalam pemberantasan korupsi, merebaknya mafia peradilan, pelanggaran hukum dalam penelitian APBN dan APBD di kalangan birokrasi.ketidakpuasan masyarakat dalam penegakan hukum semakin bertambah panjang apabila membuka kembali lembaran – lembaran lama seperti kasus Marsinah, kasus wartawan Udin, kasus Sengkon dan Karta, kasus Tanah Keret di Papua dan lain-lainnya. Pengadilan yang merupakan representasi utama wajah penegakan hukum dituntut untuk mampu melahirkan tidak hanya kepastian hukum, melainkan pula keadilan, kemanfaatan sosial dan pemberdayaan sosial melalui putusan – putusan hakimnya. Kegagalan lembaga peradilan dalam mewujudkan tujuan hukum diatas telah mendorong meningkatnya ketidakpercayaan
masyarakat terhadap pranata hukum dan lembaga-lembaga hukum. Mungkin benar apabila dikatakan bahwa perhatian masyarakat terhadap lembaga-lembaga hukum telah berada pada titik nadir. Hampir setiap saat kita dapat menemukan berita, informasi, laporan atau ulasan yang berhubungan dengan lembaga-lembaga hukum kita. Salah satu permasalahan yang perlu mendapat perhatian kita semua adalah merosotnya rasa hormat masyarakat terhadap wibawa hukum. Bagaimana juga masih banyak warga masyarakat yang tetap
menghormati putusan – putusan yang telah dibuat oleh pengadilan. Meskipun demikian sah-sah juga kiranya apabila masyarakat mempunyai penilaian tersendiri terhadap putusan tersebut. Adanya penilaian dari masyarakat ini menunjukkan bahwa hukum / pengadilan tidak dapat melepaskan diri dari struktur sosial
masyarakatnya. Hukum tidaklah steril dari perilaku – perilaku sosial lingkungannya. Oleh karena itu wajar kiranya apabila masyarakat mempunyai opini tersendiri setiap ada putusan pengadilan yang dipandang bertentangan dengan nilai – nilai keadilan hidup dan tumbuh di tengah – tengah masyarakat. Persoalannya tidak akan berhenti hanya sebatas munculnya opini publik, melainkan berdampak sangat luas yaitu merosotnya citra lembaga hukum di mata masyarakat. Kepercayaan masyarakat akan luntur dan mendorong munculnya situasi anomi. Masyarakat kebingungan nilai – nilai mana yang benar dan mana yang salah.
Faktor-faktor
yang Mempengaruhi Penegakan Hukum di Indonesia
Secara konsepsional, maka inti dan arti penegakan hukum
terletak pada kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan di
dalam kaidah-kaidah yang mantap dan mengejawantah dan sikap tindak sebagai
rangkaian penjabaran nilai tahap akhir, untuk meniptakan, memelihara, dan
mempertahankan kedamaian pergaulan hidup (Soekanto, 1979).Pokok penegakan hukum
sebenarnya terletak pada faktor-faktor yang mungkin mempengaruhinya.
Faktor-faktor tersebut mempunyai arti yang netral, sehingga dampak positif atau
negatifnya terletak pada isi faktor-faktor tersebut.
Faktor-faktor tersebut adalah, sebagai
berikut:1. Faktor hukumnya sendiri, dalam hal ini dibatasi pada undang-undang saja.
2. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum.
3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum.
4. Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau diterapkan.
5. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta, dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.
Kelima faktor tersebut saling berkaitan dengan eratnya, oleh karena merupakan esensi dari penegakan hukum, juga merupakan tolak ukur daripada efektivitas penegakan hukum. Dengan demikian, maka kelima faktor tersebut akan dibahas lebih lanjut dengan mengetengahkan contoh-contoh yang diambil dari kehidupan masyarakat Indonesia.
Sumber
www.kompas.co.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar