Senin, 12 Maret 2012

PENEGAKAN HUKUM DI INDONESIA


Penegakan hukum di Indonesia masih buruk. Dalam 10 tahun terakhir, demokrasi di Indonesia dan kontrol terhadap korupsi tidak mengalami kemajuan berarti.
Demikian menurut Governance Indicator World Bank. Sedangkan hasil penelitian terbaru Lembaga Survei Indonesia (LSI) bahwa proporsi publik yang menilai kondisi penegakan hukum dan di Indonesia buruk atau sangat buruk meningkat.
"Ini kali pertama terjadi dalam pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono sejak ia menang Pemilu pada 2004. Data longitudinal LSI sejak awal 2005 hingga 2011 menunjukkan bahwa sikap positif publik selalu lebih besar dalam isu penanggulangan korupsi. Tapi tidak kali ini," kata Direktur Eksekutif LSI, Kuskridho Ambardi, di kantor LSI, Jakarta, Ahad (8/1).
Dalam survei yang dilakoni LSI terhadap 1.220 koresponden pria dan wanita, berusia 17 tahun atau lebih, ditemukan bahwa sekitar 42,4 persen koresponden menilai kondisi penegakan hukum nasional buruk atau sangat buruk. Hanya sekitar 32,6 persen yang mengatakan baik atau baik sekali.
"Terdapat margin minus 9,2 persen. Padahal dalam penelitian sebelumnya, marginnya selalu positif, artinya yang menilai baik lebih besar daripada yang menilai buruk," jelas Kuskhrido lagi.
Dalam survei LSI, persepsi atas kinerja pemerintah memberantas korupsi juga terus menurun. Pada Desember 2008, studi LSI sebelumnya menunjukkan 77 persen menilai baik kinerja pemerintah. Pada 2009, turun menjadi 59 persen, 2010 menjadi 52 persen dan pada 2011 hanya 44 persen yang menilai baik kinerja pemerintah.
Kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga dinilai merah. Catatan LSI, dari 2008-2010, kinerja KPK dinilai baik pada rentang 61-66 persen. Namun, dalam survei terakhir Desember 2011, hanya sebanyak 44 persen yang masih percaya kinerja KPK baik atau sangat baik.
Menurut Ketua Dewan Pengurus Transparency International Indonesia (TII), Todung Mulya Lubis, buruknya persepsi publik bukan hanya diakibatkan lambannya penanganan kasus-kasus besar oleh penegak hukum. Tapi juga karena munculnya kasus-kasus yang menyakiti rasa keadilan masyarakat kecil.
"Kasus AAL yang diputus bersalah di sidang karena mencuri sendal jepit, kasus GKI Yasmin di Bogor dan banyak lagi. Ini berpengaruh besar terhadap persepsi masyarakat,
Terkait korupsi, menurut Todung, KPK masih menjadi satu-satunya lembaga yang paling efektif dalam memberantas korupsi. Meskipun survei LSI terbaru, menunjukkan KPK kini berada di bawah institusi Polri sebagai lembaga terkorup di Indonesia jika ukurannya persepsi masyarakat.Dari pertanyaan mengenai seberapa bersih sejumlah lembaga negara di mata masyarakat, survei LSI menempatkan KPK di urutan keempat (38,5 persen menilai bersih atau sangat bersih), Polri ketiga (39,3 persen), Presiden kedua (51 persen) dan TNI berada di urutan pertama (57,2 persen). Sedangkan partai politik dinilai sebagai lembaga terkorup di bawah Dewan Perwakilan Rakyat (31,1 persen).
"Cukup mengejutkan juga KPK bisa berada di bawah Polri. Tapi jika melihat situasi belakangan bisa dipahami mengingat sejumlah peristiwa belakangan cukup mencederai citra KPK. Pelanggaran kode etik oleh pimpinan KPK misalnya atau banyaknya vonis bebas terhadap terdakwa korupsi di tipikor daerah," kata Todung lagi.
melihat  dan  merasakan bahwa  penegakan  hukum  berada  dalam  posisi  yang  tidak menggembirakan. Masyarakat  mempertanyakan  kinerja  aparat penegak  hukum  dalam  pemberantasan  korupsi,  merebaknya  mafia peradilan, pelanggaran hukum dalam penelitian APBN dan APBD di kalangan  birokrasi.ketidakpuasan  masyarakat  dalam penegakan  hukum  semakin  bertambah  panjang  apabila membuka kembali  lembaran –  lembaran  lama seperti kasus Marsinah, kasus wartawan  Udin,  kasus  Sengkon  dan  Karta,  kasus  Tanah  Keret  di Papua dan lain-lainnya. Pengadilan  yang  merupakan  representasi  utama  wajah penegakan  hukum  dituntut  untuk  mampu  melahirkan  tidak  hanya kepastian hukum, melainkan pula keadilan, kemanfaatan sosial dan pemberdayaan  sosial  melalui  putusan  –  putusan  hakimnya. Kegagalan  lembaga peradilan  dalam  mewujudkan  tujuan  hukum diatas  telah  mendorong  meningkatnya  ketidakpercayaan
masyarakat terhadap pranata hukum dan lembaga-lembaga hukum. Mungkin benar apabila dikatakan bahwa perhatian masyarakat terhadap  lembaga-lembaga  hukum  telah  berada  pada  titik  nadir. Hampir setiap saat kita dapat menemukan berita, informasi, laporan atau  ulasan  yang  berhubungan  dengan  lembaga-lembaga  hukum kita. Salah satu permasalahan yang perlu mendapat perhatian kita semua  adalah  merosotnya  rasa  hormat  masyarakat  terhadap wibawa hukum. Bagaimana  juga masih banyak warga masyarakat yang  tetap
menghormati putusan – putusan yang telah dibuat oleh pengadilan. Meskipun  demikian  sah-sah  juga  kiranya  apabila  masyarakat mempunyai penilaian  tersendiri  terhadap putusan  tersebut. Adanya penilaian  dari  masyarakat  ini  menunjukkan  bahwa  hukum  / pengadilan  tidak  dapat  melepaskan  diri  dari  struktur  sosial
masyarakatnya. Hukum  tidaklah steril dari perilaku – perilaku sosial lingkungannya.  Oleh  karena  itu  wajar  kiranya  apabila  masyarakat mempunyai  opini  tersendiri  setiap  ada  putusan  pengadilan  yang dipandang  bertentangan  dengan  nilai  –  nilai  keadilan  hidup  dan tumbuh di tengah – tengah masyarakat. Persoalannya  tidak  akan  berhenti  hanya  sebatas munculnya opini  publik,  melainkan  berdampak  sangat  luas  yaitu  merosotnya citra lembaga hukum di mata masyarakat. Kepercayaan masyarakat akan  luntur  dan mendorong munculnya  situasi  anomi. Masyarakat kebingungan nilai – nilai mana yang benar dan mana yang salah.

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum di Indonesia
Secara konsepsional, maka inti dan arti penegakan hukum terletak pada kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan di dalam kaidah-kaidah yang mantap dan mengejawantah dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir, untuk meniptakan, memelihara, dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup (Soekanto, 1979).Pokok penegakan hukum sebenarnya terletak pada faktor-faktor yang mungkin mempengaruhinya. Faktor-faktor tersebut mempunyai arti yang netral, sehingga dampak positif atau negatifnya terletak pada isi faktor-faktor tersebut.
Faktor-faktor tersebut adalah, sebagai berikut:
1. Faktor hukumnya sendiri, dalam hal ini dibatasi pada undang-undang saja.
2. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum.
3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum.
4. Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau diterapkan.
5. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta, dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.
Kelima faktor tersebut saling berkaitan dengan eratnya, oleh karena merupakan esensi dari penegakan hukum, juga merupakan tolak ukur daripada efektivitas penegakan hukum. Dengan demikian, maka kelima faktor tersebut akan dibahas lebih lanjut dengan mengetengahkan contoh-contoh yang diambil dari kehidupan masyarakat Indonesia.

Sumber
www.kompas.co.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar